Thursday, June 20, 2019

Kisah Seorang Pembersih Selokan Kota yang Menjadi Ayah Terkaya di Dunia



Ada kisah tentang seorang ayah yang sangat miskin. Ia bekerja sebagai seorang pembersih selokan kota. Setiap hari kerjanya masuk ke lorong-lorong selokan bawah tanah di bawah jalanan aspal yang dilalui banyak mobil yang melintas lalu lalang. Tak seorang pun penduduk kota peduli dan menaruh hormat padanya. Ia memiliki seorang anak perempuan. “Aku tak pernah memberitahu pada anakku perempuan, apa pekerjaanku. Aku tak mau ia jadi malu karena tahu ayahnya hanya seorang pembersih selokan.” “Setiap kali anakku bertanya apa pekerjaanku, aku selalu menjawab bahwa aku seorang buruh pabrik.” “Ya, aku kan tak terlalu berbohong, aku hanya seorang buruh kasar.”

Setiap kali aku pulang dari bekerja, aku selalu pergi ke kamar mandi umum dan membersihkan diri di sana agar aku tak pulang ke rumah dengan tubuh kotor sehingga anakku tahu apa pekerjaanku. Aku ingin menyekolahkan anakku sampai tamat perguruan tinggi. Aku mau dia punya kebanggaan di depan teman-temannya. Jika teman-temannya tahu apa pekerjaan ayahnya, ia pasti sangat malu. Aku tak mau teman-temannya menghina dia, seperti banyak orang menghinaku.

Aku menghabiskan setiap sen dari penghasilanku untuk membelikan anakku buku-buku dan perlengkapan sekolah. Aku tak pernah membeli pakaian baru sama sekali. Semua uangku kuhabiskan untuk biaya keperluan rumah tangga dan biaya pendidikan anakku. Aku hanya ingin agar dia bisa bersekolah dan mendapat masa depan yang lebih baik dariku.

Namun apa boleh buat, aku hanya seorang pembersih selokan kota. Sehari sebelum hari terakhir pembayaran uang masuk kuliah, aku masih belum punya uang untuk membayarnya. Hari itu, aku sangat sedih. Begitu sedihnya sampai aku tak sanggup bekerja. Aku hanya duduk di samping timbunan kotoran selokan yang sudah berhari-hari lamanya dan sangat bau. Aku tak berani pulang untuk menemui anak perempuanku. Aku tak tahu harus bilang apa padanya. Sejak masih kecil, bahkan bayi aku sudah terlahir sebagai orang miskin. Aku memang harus menerima takdirku sebagai orang miskin.

Hari pun menjelang sore. Aku melihat teman-temanku sesama pembersih selokan berkumpul. Entah apa yang mereka bicarakan. Mereka tampak mendekat bersama-sama menghampiriku. Salah seorang duduk disebelahku dan berkata, “Teman, kami tahu kamu sedang dalam kesulitan. Ini, terimalah bantuan dari kami. Kami semua adalah saudara-saudaramu. Jangan menolaknya.” Aku hampir tak percaya dengan kata-katanya dan kebaikan teman-temanku. Mereka masing-masing memberi seluruh upah harian mereka hari itu untukku. Mereka kumpulkan semuanya dan berikan kepadaku. Sungguh kebaikan hati yang tulus dan tak terlupakan. Aku jadi terharu.

Moral dari kisah ini: pria ini mungkin salah seorang lapisan kelas masyarakat paling miskin. Namun ia memberi dari kekurangannya. Pria ini mungkin tak pernah berpikir yang tinggi-tinggi tentang tujuan hidup, makna hidup dan panggilan hidup. Yang ia tahu hanyalah ia bekerja setiap hari untuk menafkahi keluarga dan menyekolahkan anaknya. Ia menjalani sebuah kehidupan yang bermakna dan bertujuan, meski tidak melakukan pekerjaan yang sesuai dengan passion dan bakat talentanya.

Yang ia tahu hanyanya ia bangun setiap pagi untuk bekerja bagi keluarga dan menyekolahkan anaknya. Ia bekerja seharian dan menjadi lelah, tidak mengharapkan banyak untuk dirinya sendiri. Hampir seluruh hidupnya diabdikan demi keluarga dan anaknya. Ia bekerja demi orang lain. Bukan demi dirinya sendiri. Ia melakukan pekerjaannya untuk orang lain. Dalam kemiskinannya, ia justru semakin bisa banyak memberi.

Bagaimana dengan kamu? Apakah selama ini kamu bekerja hanya untuk memuaskan dirimu sendiri atau kamu bekerja sebagai suatu bentuk pengabdian dan pelayanan bagi orang lain. Apakah kamu mengabdikan dirimu hanya untuk memuaskan dan menyenangkan dirimu sendiri, atau kamu mengabdikan dirimu demi kebaikan, kebutuhan dan kepentingan orang lain? Kamu selalu bisa memberi dalam keadaan berkelimpahan maupun dalam berkekurangan. Tidak selalu harus berbentuk uang dan materi, namun juga bisa dalam bentuk pelayanan, waktu, tenaga, perhatian, kebaikan dan pertolongan bagi kebutuhan, kepentingan dan perkembangan orang lain.

Jika kamu menjalani hidup seperti itu, kamu akan menjalani kehidupan yang bermakna. Itulah panggilan dan tujuan hidupmu, yakni pengabdian dan pelayanan pada orang lain dengan cara yang kamu bisa. Tidak selalu harus sesuatu yang menggunakan bakat dan passion-mu. Tapi perbuatan baik yang kecil-kecil setiap hari untuk keluarga dan lingkungan sekitar. Pengorbanan kecil-kecil. Ini akan memurnikan jiwamu. Tuhan akan memberi kamu rahmat yang cukup untuk melakukannya.

Bagaimana kamu mau menjalani hidupmu? Kita dapat belajar dari si pria pembersih selokan di atas, bekerja sesuatu dengan bidang kita masing-masing. Melakukan apa yang menjadi tugas dan tanggung jawab kita sehari-hari dengan tekun, benar dan tulus. Kebaikan hati dan kesediaan untuk melayani adalah suatu bentuk potensi saja. Orang terlahir dengan potensi bawaan, dengan tendensi bawaan, bagaimana ia mengembangkan kepribadian dan hal-hal baik yang ia bawa semenjak ia masih kecil adalah soal pilihan dan perjuangan terus-menerus sepanjang hidup. Di penghujung hidupmu kelak, akan menjadi orang macam apakah kamu? Menjadi lebih baik dengan fungsi-fungsi luhur yang terlatih dan berkembang, atau justru mengalami degradasi jiwa dan kemerosotan akhlak.

Seperti dikatakan oleh Viktor Frankl: kamu selalu bisa memilih dan menentukan sikap. Kamu punya kehendak bebas untuk menentukan hidupmu dan dirimu sendiri. Bekerjasamalah dengan bantuan rahmat Tuhan untuk menjadikan yang terbaik.

“Be D*Light for Awareness & Enlightenment"

D*Light Institute – House of D*Light
Tomang, Jakarta Barat

Menginspirasi, mendidik dan menghibur…

Sumber: “Story of a Poor Father Who Become the Richest Man in the World.”


 

No comments:

Post a Comment