Friday, February 28, 2020

Jangan Dipaksakan, Ini 5 Tanda Kamu Belum Siap Menjalin Relasi yang Langgeng




Tanpa sadar, mungkin selama ini kita cepat menyalahkan orang lain untuk masalah-masalah yang kita hadapi. Untuk kesulitan-kesulitan yang kita hadapi. Mungkin orang yang paling cepat kita salahkan adalah pasangan kita sendiri. Kita berkata, “Kenapa kau masih saja belum bisa mengerti aku?” “Kenapa kau selalu tidak punya waktu untuk mendengarkan?” “Kenapa sih, kau selalu sibuk dengan ponselmu.” “Kenapa kau tidak pernah bisa melihat sudut pandangku?” “Kenapa kau selalu lebih mementingkan egomu?” “Kenapa kau sulit diajak diskusi?” Dan masih banyak lagi kesalahan yang kita tudingkan ke pasangan.

Tapi coba kamu jujur pada diri sendiri. Apa kamu lebih baik dari pasanganmu? Apa kamu juga tidak melakukan kesalahan yang sama seperti dia? Makna inti dalam sebuah relasi dengan pasanganmu adalah: kamu tidak saja belajar untuk mengasihi dia, bukan cuma itu, tapi kamu juga belajar menjadi orang yang lebih baik. Menjadi versi terbaik dirimu dalam relasimu bersamanya. Kamu harus berusaha untuk terus belajar, berkembang dan memperbaiki diri.

Simak 5 tanda bahwa kamu mungkin belum siap menjalin relasi yang langgeng dengan pasangan...

Satu: kamu selalu lebih mementingkan dan mengutamakan diri sendiri (egois). Kamu memang juga harus memprioritaskan kesejahteraan emosionalmu. Ini sehat secara psikologis. Tapi ada beda antara hidup sehat dan seimbang dengan selalu mengutamakan kesejahteraan diri sendiri dengan mengorbankan pasangan. Profesor di bidang psikologi klinis, Srini Pillay mengatakan bahwa orang-orang yang egois biasanya menderita perasaan dirinya kurang adequat (kurang memadai, kurang berkualitas, kurang cukup baik) sebagai pribadi dan manusia. 

Maka, saat mereka mulai mengasihi seseorang, bahkan meski hanya mulai mengasihi sedikit saja, mereka khawatir dirinya akan diperalat, dimanipulasi, dicurangi, dan harus rela berkorban menderita seumur hidup semata-mata demi kebahagiaan pasangan. Mereka khawatir relasi ini tak mungkin langgeng. 

Orang yang mengasihi secara egois sulit untuk bahagia karena mereka tak terhubung dengan diri autentik mereka. Diri sejati mereka. Mereka tidak mengasihi dengan tulus namun hanya demi keuntungan dan kebutuhan diri sendiri. Jika selama ini kamu jauh lebih banyak menerima dibanding memberi ke pasangan, Pillay mengatakan kamu perlu membereskan akar masalah, akar penderitaan di dalam dirimu yang membuatmu jadi punya sifat seperti itu. Kamu harus belajar dan berusaha memperbaiki diri.

Dia juga menekankan tentang pentingnya punya hobi agar kamu lebih bisa membina keterhubungan dengan dirimu sendiri yang autentik (diri sejati). Seperti menulis jurnal, bermeditasi, jalan/lari pagi, melukis, dan masih banyak lagi. 

Dua: kamu angkuh dan yakin bahwa dirimu selalu benar. Kamu selama ini selalu bersikukuh dan menganggap dirimu benar. Padahal tanpa sadar dengan kamu bersikap seperti itu, kamu membuat pasanganmu banyak menderita. Kamu lebih mementingkan ego pribadi, bukan kepentingan dan kebutuhan bersama. Kemungkinan sikap selalu merasa diri benar ini timbul dan berakar pada suatu relung penderitaan yang sangat mendalam di batinmu. Kamu dulu pernah punya sejarah masa kecil atau trauma yang masih perlu dibereskan. Kamu menganggap penderitaanmu ini disebabkan oleh orang lain. Kamu menganggap orang lain ingin bahagia dan mengejar impian lantas kamu yang dijadikan korban karena itu. Kamu menganggap karena orang lain ingin tampil lebih baik, lebih kuat, lebih keren, lantas kamu yang dikorbankan. Kamu meyakini bahwa demi ego orang lain, kamu harus menderita. 

Maka, sebagai cara untuk survive, kamu pun membentuk suatu pola pikir, keyakinan, dan nilai-nilai yang kamu anggap paling benar (menurut versimu sendiri), dan tanpa sadar kamu banyak mengorbankan pasanganmu sendiri karena itu. 

Dalam relasi, kamu dan pasanganmu harus sama-sama merasa dirinya didengarkan dan dimengerti. Terlepas apa kalian berdua memang punya kapasitas yang cukup untuk mengerti satu sama lain. Apa pada akhirnya, kamu lebih mementingkan untuk benar dan harus kehilangan pasangan yang kamu sayangi? 

Kamu mungkin takut minta maaf jika berbuat salah, karena kamu berpikir selama ini harus kamu terus yang minta maaf sedangkan pasanganmu tak pernah mau minta maaf. Hanya kamu terus yang harus mengalah dan memperbaiki diri sedangkan pasanganmu tak mau berusaha berubah. Tapi jika kamu bersedia merendah untuk minta maaf, pasanganmu akan tahu bahwa kamu tidak merasa bangga dengan kesalahanmu dan perbuatanmu. 

Yang terpenting bukan meributkan siapa yang benar dan siapa yang salah. Siapa yang paling benar dan siapa yang paling salah. Tapi bagaimana kalian berdua bisa menghindari pertengkaran yang sama terulang lagi. 

Tiga: kamu selalu bergantung pada pasanganmu untuk membuatmu senang dan bahagia. Kamu jadi gelisah dan tidak bisa berfungsi dengan baik jika pasanganmu tidak hadir di dekatmu. Ini namanya co-dependent. Tanyakan pada dirimu, apa selama ini kamu memang menyayangi pasanganmu atau dia hanya untuk memenuhi kebutuhan emosionalmu. Relasi kasih adalah lebih soal apresiasi dan penghargaan. Bukan posesif.

Ilmu psikologi menemukan bahwa co-dependency berakar pada rasa tidak bisa mencukupi kebutuhan diri sendiri (self-insufficiency). Ini berakar pada kebutuhan-kebutuhan masa kecil yang tak terpenuhi. Mungkin kamu perlu dibantu untuk masuk ke dalam dirimu dan bersentuhan serta membereskan perasaan-perasaan yang selama ini jauh terpendam di dalam hatimu. Carilah bantuan profesional.

Membicarakannya akan menyembuhkan dan membuat perasaanmu lebih baik. Saat kamu menghadapi dan membereskan rasa-rasa insecure yang sangat berakar dan terpendam ini, pasti berpengaruh positif pada relasimu dengan pasangan. Relasi kalian berdua bisa semakin berkembang dan autentik. 

Empat: kamu mengharapkan pasanganmu bisa membaca pikiranmu (mind reading). Lagi-lagi komunikasi yang baik dan terbuka adalah kuncinya. Jika selama ini kamu diam-diam memendam sesuatu dan jadi bersikap pasif agresif, karena kamu takut menciptakan konflik, kamu pun berharap pasanganmu bisa membaca pikiran dan tahu dengan sendirinya apa yang membuatmu dongkol. 

Ketrampilan komunikasi salah satunya, “Selalu saja aku yang mencuci piring dan membersihkan sisa makananmu.” Gantilah dengan, “Aku harap kamu bisa membantu aku mencuci piring dan membereskan sisa makanan. Terima kasih kalau kau mau melakukannya.” Dengan cara ini, kamu tetap bisa menyuarakan keinginanmu tanpa menudingkan jari ke pasangan. Ini bisa membuat pasanganmu jadi defensif dan menyerang balik. Pertengkaran pun terjadi.

Lima: kamu punya masalah komitmen. Fobia komitmen juga disebut kegelisahan dalam relasi (relationship anxiety). Kamu sebenarnya ingin membina relasi yang langgeng, tapi dihambat oleh rasa takut dan kegelisahan. Banyak penyebab yang mendasarinya, seperti melihat orangtuamu bercerai. Atau relasi yang tidak sehat dengan mantan-mantanmu. Membuatmu jadi takut untuk menyingkap kerentanan yang memang perlu di dalam sebuah relasi yang langgeng dan autentik dengan pasangan. Kamu takut pasanganmu akan menggunakan itu untuk memanipulasi kamu. Nantinya mengecewakan kamu atau bahkan meninggalkan kamu. Mungkin kamu perlu bantuan profesional untuk mengelola sisi-sisimu yang rentan.  

Penulis: Boni Sindyarta

Be D*Light for Awareness & Enlightenment"

D*Light Institute – House of D*Light
Tomang, Jakarta Barat

Menginspirasi, mendidik dan menghibur…

Sumber: 5 Signs You Cannot Handle a Relationship – Psych2Go – YouTube Channel

No comments:

Post a Comment